Senin, 15 Januari 2018

PENGIKATAN JUAL BELI DAN KUASA UNTUK MENJUAL


PENGIKATAN JUAL BELI DAN KUASA UNTUK MENJUAL

(UNTUK TANAH) DAN KUASA MENJUAL TANPA DIAWALI

DENGAN PENGIKATAN JUAL BELI

 Bahwa hukum jual beli tanah di Indonesia dilakukan secara terang dan tunai.

Dilakukan secara terbuka mengenai subjek dan objeknya serta tatacara pembayarannya pada saat barang diserahkan oleh pembeli maka penjual menerima uangnya, kemudian pada saat itu dibuat tanda bukti atau akta telah terjadinya jual beli tersebut.

 Dalam praktek kenotariatan dan dalam rangka permintaan masyarakat sering dibuatkan akta Pengikatan Jual Beli dan Kuasa untuk menjual tanah. Alasan atau latar belakang dibuatnya kedua akta tersebut, antara lain :

1. Pembeli tidak ingin segera melakukan balik nama/peralihan hak, dengan alasan ingin dijual lagi kepada pihak lain, (meskipun dalam hal ini Pembeli telah membayar lunas kepada Penjual).

2. Pembeli tidak ingin segera melakukan balik nama/peralihan hak, dengan alasan belum punya uang untuk bayar pajak-pajak, (meskipun dalam hal ini Pembeli telah membayar lunas kepada Penjual).

CATATAN :

 Kedua tindakkan tersebut sering disebut sebagai Pengikatan Jual Beli Lunas
(PPJB Lunas atau pembayaran oleh Pembeli kepada Penjual telah lunas).

 Untuk tindakkan Pengikatan Jual Beli yangseperti tersebut dalam angka (1)
dan (2) karena merupakan jual beli dengan pembayaran lunas, wajib diikuti
dengan Kuasa Untuk Menjual kepada dirinya sendiri atau orang lain yang
dikehendakinya sendiri.

 Karena tindakkan Pengikatan Jual Beli yang dibeli yang tersebut dalam angka
(1) dan (2) tersebut telah lunas, maka telah timbul kewajiban pajak untuk
penjual dan pembeli. Jika hal ini dilakukan menjadi kewajiban Notaris untuk
menjelaskan kepada para penjual dan pembeli, bahwa atas transaksi tersebut
tetap harus bayar pajak meskipun belum dilakukan peralihan hak (dalam
prakteknya oleh penjual dan pembeli selalu dihindarkan) karena akan
dibayarkan ketika pada saat penandatatangan akta PPAT. Tapi dalam kaitan
ini tetap menjadi kewajiban Notaris untuk menjelaskan kepada penjual dan
pembeli mengenai kewajiban pajak tersebut, jangan sampai terjadi suatu hari
(para penjual dan pembeli tersebut) datang ke hadapan Notaris/PPAT dan
menyatakan Notaris/PPAT tidak pernah menjelaskannya.

 Dalam PPJB Lunas ini karena suatu saat akan ditindaklanjuti dengan akta
PPAT, maka harga yang tercantum dalam PPJB dan Akta PPAT harus sama
dan sesuai fakta yang sebenarnya terjadi, oleh karena itu dalam PPJB Lunas
tersebut disamping harga jual disebutkan dalam akta, maka Notaris pun harus
meminta kepada Penjual dan Pembeli untuk meminta kuitansi dari Penjual dan
Pembeli yang berkaitan dengan harga tersebut, agar tidak terjadi disparitas.

 Bagaimana jika terjadi, jika harga yang disebutkan dalam PPJB tersebut lebih
tinggi yang tersebut dalam NJOP PBB tahun yang berjalan ? Maka dalam
rangka pengenaan pajak harus diambil yang tertinggi, tidak perlu merubah
yang sudah tercantum dalam PPJB Lunas tersebut, demikian pula sebaliknya
jika NJOP PBB tahun yang berjalan lebih rendah, maka pembayaran pajaknya
akan diambil yang tertinggi (apakah NJOP PBB atau yang tersebut dalam akta).

 Dalam praktek sering juga dilakukan, jika ternyata NJOP PBB tahun berjalan

lebih rendah dari yang tersebut dalam PPJB Lunas, para penjual dan pembeli
datang lagi ke hadapan Notaris untuk membatalkan akta PPJB Lunas tersebut
dan langsung ditindak lanjuti denga akta jual beli PPAT (AJB PPAT). Jika ini dilakukan, maka akta yang pernah dibuatnya sebagai Proforma (Perbuatan Pura-pura) atau Penyelundupan Hukum. Bahwa jika dilakukan pembatalan (atau dibuat akta pembatalan) maka (sesuai Kaidah Hukum Perdata)
semuanya harus dikembalikan seperti keadaan semula, misalnya uang dikembalikan oleh Pembeli kepada Penjual dan Pembeli mengembalikan tanah kepada Penjual. Sehingga dalam kaitan ini menimbulkan pertanyaan,
adakah akibat hukum yang timbul dari perbuatan seperti itu ? Jika para pihak
tidak pernah mempersoalkannya dan tidak ada pihak lain yang merasakan
dirugikan maka menjadi suatu hal yang boleh dilakukan. Tapi untuk Notarisnya telah memberikan jalan yang tidak tepat kepada para pihak, karena seharusnya Notaris tahu dan mengetahui Kaidah Hukum Perdata seperti disebutkan di atas.

 Mengenai pencantuman tatacara pembayaran harus dijelaskan : apakah dengan pembayaran tunai, tranfers antar bank, non tunai (giro, cek) pemindah bukuan ?. Apapun cara pembayarannya harus dicantumkan secara tegas dalam akta. Dan Notaris wajib meminta tanda bukti apapun dari para penjual dan pembeli atas tata cara pembayaran yang telah mereka lakukan. Untuk Notaris jangan gunakan kalimat .....”pembayaran telah dilakukan di hadapan saya, Notaris, sesaat setelah penandatanganan akta ini” kalaupun ingin menggunakan kalimat lain, misalnya...”akta ini berlaku pula sebagai tanda
terima yang sah yang disepakati oleh para pihak...”, lebih baik Notaris tetap
meminta tanda bukti lain untuk mem”back up” pernyataan dari para penghadap tersebut.

 Untuk penyerahan sertifikat, harus penyerahan secara riil (nyata) di hadapan Notaris, dan pada akta bisa dicantumkan kalimat...”Sertifikat nomor :.........,
telah diserahkan oleh Penjual kepada Pembeli pada saat penandatangan akta
ini, dan akta ini berlaku pula sebagai tanda terima yang sah yang disepakati
oleh para pihak”. Jika sertifikat tersebut tidak diserahterimakan oleh para penghadap di hadapan Notaris, misalnya penjual telah menyerahkannya kepada pembeli sebelum penadatanganan akta ini, maka Notaris minta tanda bukti secara tertulis dari para pihak, dan dalam akta bisa dituliskan
kalimat...”Sertifikat nomor :.... telah diserahkan oleh Penjual kepada Pembeli sebelum penandtangan akta ini, demikian berdasarkan Tanda Bukti Penerimaan Sertifikat yang dibuat oleh para pihak sendiri,
tanggal........bulan.......tahun......dan bermeterai. Dan keabsahan Tanda bukti Penerimaan tersebut menjadi tanggunjawab para pihak sepenuhnya”. Dalam hal ini Notaris jangan mau melakukan jika para pihak (penjual ke pembeli)
akan menyerahkannya setelah penandatangan akta, maka hal ini merupakan akan jadi potensi masalah di kemudian hari. Meskipun potensi masalahnya untuk Penjual dan Pembeli sendiri, tapi lebih baik untuk tidak melakukannya
daripada Notaris masuk ke dalam pusaran permasalah para pihak.

3. Bidang tanah yang dibeli tidak dibayar lunas oleh penjual kepada pembeli, tapi dibayar pertahap/cicilan atau angsuran.

CATATAN :

 Dalam membuat akta Pengikatan Jual Beli untuk bidang tanah yang dibayar
secara cicilan/angsuran/bertahap, maka harus ditentukan cara pembayarannya, misalnya :

 Telah ditentukan besarnya harga jual, kemudian sisanya akan dicicil/diangsur/bertahap dalam bentuk nominal uang perbulan sampai lunas atau atau sisanya tersebut akan dilunasi dalam jangka waktu tertentu yang tidak ditentukan besarnya cicilan/diangsur/bertahap.

 Pembayaran tersebut harus jelas, karena berkaitan untuk menentukan waktu/saat Pembeli Wanprestasi.

 Apakah Wanprestasi akan ditentukan kalau Pembeli tidak bayar beberapa kali secara berturut-turut atau atau tidak tepat waktu yang sudah dijanjikan.

 Tentukan pula cara pembayarannya apakah tunai, pemindahbukuan, dengan cek atau giro atau cara lainnya. Tatacara pembayaran tersebut akan berakitan pula dengan saat terjadinya Wanprestasi.

 Jika Wanprestasi harus ditentukan akibat hukumnya, misalnya :

 jika Pembeli wanprestasi semua pembayaran yang telah dilakukan oleh Pembeli kepada Penjual menjadi hangus dan tidak dapat ditagih dengan cara dan bentuk apapun dan tanah/rumah yang telah dibeli/ditempati wajib dikembalikan kepada Penjual (jika rumah/tanah yang yang diperjualbelikan telah diterima Pembeli), atau

 Penjual akan mengembalikan sejumlah uang tertentu dari yang sudah
diterimanya kepada Pembeli, dan tanah/rumah yang telah dibeli/ditempati
wajib dikembalikan kepada Penjual (jika rumah/tanah yang yang
diperjualbelikan telah diterima Pembeli).

 Kemudian tentukan pula tata cara penyerahan sertifikat, apakah disimpan
Penjual sampai pembayaran lunas, apakah disimpan Pembeli sampai lunas
Atau atas kesepakatan bersama diserahkan bersama-sama kepada Notaris,
juga akan diambil secara bersama-sama dengan cara dan alasan apapun.

 Jika dilakukan Pengikatan Jual Beli yang dibayar secara cicilan/angsuran/bertahap tanpa perlu dibuatkan Kuasa Untuk Menjualnya.

Kuasa Menjual akan dibuat setelah pembayaran lunas dan mereka sepakat untuk menghadap kembali ke Notaris. Bisa saja dibuat Akta Kuasa Untuk
Menjualnya tapi dengan syarat tangguh, misalnya dalam akta kuas tersebut

ditegaskan, misalnya : “Kuasa ini akan berlaku jika Pembayaran dari Pembeli kepada Penjual telah dibayar lunas yang dibuktikan berdasarkan
kuitansi/tanda bukti lunas asli yang diperlihatkan kepada Notaris”.

 Bahwa judul akta boleh saja akta Pengikatan/Perikatan/Ikatan Untuk Menjual dan akta Kuasa Untuk Menjual, tapi alasan atau latar belakang terjadinya harus dipahami oleh para Notaris, misalnya akta Pengikatan Untuk Menjual

bisa dibuat dengan alasan :

 Bidang tanah yang dibeli masih dalam proses pemecahan sertifikat.

 Bidang tanah yang dibeli dalam proses pensertifikatan.

 Bidang tanah yang dibeli masih dalam jaminan bank atau bukan bank.

 Bidang tanah yang dibeli masih dalam sengketa di pengadilan.

 Bidang tanah yang dijual masih dalam proses pembagain warisan yang belum dibagai oleh para ahli waris.

 Bidang tanah yang dibeli berasal dari lelang (berdasarkan Risalah Lelang)
yang belum dibaliknamakan ke Pembeli/pemenang lelang.

 Bahwa apapun latar belakang/alasan dibuatnya akta Pengikatan Jual Beli dan
Kuasa tersebut yang perlu diperhatikan mengenai tatacara pembayaran,
penyerahan barang dan akibat hukum tertentu jika ada yang Wanprestasi.

 Kuasa Untuk Menjual sebagai tindak lanjut dari Pengikatan Jual Beli, maka kuasa
tersebut tidak bisa berakhir berdasarkan kerentuan-ketentuan yang terdapat dalam
Pasal 1813 KUHPerdata. Hal ini untuk menjamin hak-hak Pembeli yang telah
membayar lunas harga jualbelinya kepada Penjual.

 Apakah boleh dibuat Akta Kuasa Menjual tanpa dibuatnya akta Pengikatan Jual Beli? Sudah hal seperti ini boleh dilakukan. Kuasa semacam ini merupakan Kuasa
Murni untuk menjual yang klausul-klausul di dalalamnya berbeda dengan Kuasa
Menjual yang didahului dengan Pengikatan Jual Beli.

 Kuasa Murni ini dibuat dengan maksud dan tujuan untuk menjual saja kepada pihak
lainnya. Dalam Kuasa sepert ini harus disebutkan, misalnya :

 Penerima Kuasa Wajib menyerahkan hasil penjualannya kepada PemberiKuasa,

 Kemudian juga bisa disebutkan bahwa Kuasa ini bukan tindak lanjut dari Pengikatan Jual Beli.

 Kuasa semacam ini dapat dicabut kembali. Karena kuasa seperti ini masuk
kedalam kategori kuasa yang digunakan untuk memindahtangankan benda yang
sejatinya hanya dapat dilakukan oleh pemiliknya saja. Maka dari itu, untuk kuasa
menjual ini, diperlukan suatu pemberian kuasa dengan kata-kata yang tegas di

dalam aktanya (Pasal 1796 KUHPerdata) – (HBA – INC).

Rabu, 10 Januari 2018

Serba serbi kuasa dalam perusahaan

PEMBERIAN KUASA DALAM JABATANNYA SELAKU DIREKSI KEPADA KARYAWAN PERSEROAN ATAU ORANG LAIN

• Dalam Pasal 103 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UUPT) disebukan bahwa , Direksi dapat menyerahkan sebagian kewenangannya dengan surat kuasa:
Direksi dapat memberi kuasa tertulis kepada 1 (satu) orang karyawan Perseroan atau lebih atau kepada orang lain untuk dan atas nama Perseroan melakukan perbuatan hukum tertentu sebagaimana yang diuraikan dalam surat kuasa.
• Pasal 92 ayat (1) UUPT menyebutkan bahwa :
(1)  Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan.
(2) Direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar.
(3)  Direksi Perseroan terdiri atas 1 (satu) orang anggota Direksi atau lebih.
(4) Perseroan yang kegiatan usahanya berkaitan dengan menghimpun dan/atau mengelola dana masyarakat, Perseroan yang menerbitkan surat pengakuan utang kepada masyarakat, atau Perseroan Terbuka wajib mempunyai paling sedikit 2 (dua) orang anggota Direksi.
(5) Dalam hal Direksi terdiri atas 2 (dua) anggota Direksi atau lebih, pembagian tugas dan wewenang pengurusan di antara anggota Direksi ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS.
(2) Dalam hal RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak menetapkan, pembagian tugas dan wewenang anggota Direksi ditetapkan berdasarkan keputusan Direksi.
• Dengan demikian Direksi (bukan Direktur) dalam rangka menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan dapat memberi kuasa tertulis kepada 1 (satu) orang karyawan Perseroan atau lebih atau kepada pihak lain untuk dan atas nama Perseroan.
• Kuasa Direksi tersebut harus dibuat secara tertulis (dan tidak disebutkan dengan akta Notaris) saja dengan menyebutkan menjalankan pengurusan dalam batas yang ditentukan dalam UUPT dan/atau anggaran dasar perseroan. Contoh kuasa seperti ini biasa dilakukan di kalangan perbankan, yaitu Direksi Kantor Pusat memberi kuasa kepada Kepala Cabang atau karyawannya untuk menandatangani kredit dalam jumlah tertentu dan menandtangani akta-akta lainnya.
• Bahwa kuasa yang dibuat/diberikan tersebut dalam kapasitas jabatan atau dalam tindakkan jabatan dan bukan dalam kapasitas pribadi, misalnya jika A dalam kedudukan sebagai Direksi Perseroan dengan masa jabatan 3 (tiga) tahun, dan dalam masa jabatannya pernah memberi kuasa kepada B. Ketika A berhenti sebagai Direksi, apakah Kuasanya tersebut berakhir juga ? Bahwa selama tidak disebutkan apapun dalam Kuasa tersebut, misalnya :
 Ada jangka waktu pemberian kuasa atau ada waktu berakhirnya.
 Dinyatakan jika berganti Direksi maka Kuasa tersebut berakhir.
    maka akan tetap berlaku.
• Pasal 1792 KUHPerdata menyebutkan, “Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya, menyelengarakan suatu urusan”.
• Bahwa secara umum ketentuan mengenai Kuasa telah diatur dalam Pasal 1813 KUHPerdata yaitu  bahwa Kuasa berakhir karena:
a.    penarikan kembali kuasa penerima kuasa;
b.    pemberitahuan penghentian kuasanya oleh penerima kuasa;
c.    meninggalnya, pengampuan atau pailitnya, baik pemberi kuasa maupun penerima kuasa
• Pemberian kuasa dapat berlaku untuk waktu yang tidak terbatas selama belum dicabut oleh pemberi kuasa (Pasal 1800 KUHPer).
• Sehingga Kuasa yang diberikan dalam kapasitas Jabatan, akan tetap tetap berlaku meskipun pemberi kuasa (direksi) sudah tidak menjabat lagi, kecuali ditentukan lain dalam Kuasa tersebut dan berdasarkan Pasal 1813 serta 1800 KUHPerdata. (HBA – INC).